Grebeg Suroan Dusun Jowan: Merawat Tradisi, Menyulam Spirit Islam Nusantara

 


Setiap bulan Sura (Muharram), warga Dusun Jowan, Desa Belor, Kecamatan Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah, menyambut datangnya tahun baru Hijriyah tradisi Grebeg Suroan. Bukan sekadar seremoni budaya, Grebeg Suroan telah menjadi bagian dari identitas warga yang diwariskan secara turun-temurun.


Rangkaian Grebeg Suroan terdiri dari tiga elemen utama yakni Barikan, Lamporan, dan Barongan. Ketiganya membentuk harmoni antara spiritualitas, kearifan lokal, dan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.


Barikan: Ambengan dan Doa sebagai Simbol Persaudaraan dan Kebersamaan


Barikan adalah tradisi slametan warga yang digelar rutin setiap malam Jumat, dan secara khusus dilaksanakan dengan lebih besar pada malam 10 Sura. 


Dalam tradisi ini, warga berkumpul di rumah warga atau langgar dengan membawa ambengan—nasi berkat lengkap dengan lauk pauk yang diletakkan di tengah-tengah, kemudian bersama-sama membacakan tahlil dan doa. Ambengan kemudian dibagi dan disantap bersama sebagai bentuk rasa syukur dan penguatan tali silaturahim.


Di balik kesederhanaannya, Barikan menyimpan makna mendalam sebagai wujud ibadah sosial dan ekspresi keagamaan khas warga Nahdliyin. Tradisi ini juga mencerminkan ajaran Islam Nusantara yang menekankan keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas.


Lamporan: Mengusir Gelap, Menghidupkan Cahaya


Setelah Barikan, suasana malam Suro dilanjutkan dengan Lamporan—kirab obor keliling kampung. Obor yang dibawa oleh warga melambangkan cahaya petunjuk Ilahi yang menuntun umat keluar dari kegelapan. Iring-iringan ini menyusuri jalan kampung dengan iringan bunyi gamelan yang kian menambah kekhidmatan.


Lamporan menjadi semacam ziarah batin, bahwa kehidupan spiritual selalu bergerak menuju terang. Itu merupakan cara masyarakat menyampaikan pesan moral dan religi dengan media budaya.


Barongan: Seni Rakyat sebagai Dakwah Moral


Barongan adalah seni pertunjukan rakyat yang turut serta dalam kirab obor atau lamporan. Barongan tak hanya berkeliling bersama warga, namun juga dipentaskan di akhir rute sambil warga menikmati jamuan dari Ketua RT, hasil dari iuran sukarela.


Bukan sekadar hiburan, barongan mengandung simbol perlawanan terhadap kebatilan, dan mengajarkan pentingnya pengendalian diri. Sebagaimana yang dipahami dalam tradisi Nahdliyin, kesenian dapat menjadi media dakwah yang membumi dan dapat diterima oleh semua kalangan.


Merawat Tradisi, Menguatkan Identitas


Grebeg Suroan di Dusun Jowan adalah potret  tradisi lokal bisa hidup berdampingan dengan ajaran Islam tanpa harus saling menyakiti. Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, masyarakat Jowan membuktikan bahwa menjaga tradisi adalah bagian dari merawat iman dan peradaban.


Dalam berbagai forum keagamaan, seperti Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, ditegaskan bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat adalah bagian dari kekayaan umat. Tradisi semacam Barikan, Lamporan, dan Barongan merupakan bentuk “tadayun kultural” atau penghayatan agama yang membumi.


Sebagaimana kata Gus Dur, “Tradisi yang tidak dijaga akan punah. Agama yang tidak membumi akan terbang.” Maka, merawat Grebeg Suroan bukan hanya melestarikan budaya, tapi juga menghidupkan nilai-nilai Islam yang ramah, moderat, dan membumi sebagaimana ciri khas Islam ala Nahdlatul Ulama.


Referensi:

1. KH Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006).

2. Dr. Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Menghidupkan Tradisi (2015).

3. NU Online. “Tradisi Suroan dan Kearifan Lokal Warga NU”.

4. LBM PBNU. Risalah Islam Nusantara, Munas NU 2019.


Penulis : Muhammad Afif Fudin Zuhri 

Editor : Rubadi

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1