NU dan Polemik Tambang: Antara Kepentingan Umat dan Etika Ekologis


Wacana pelibatan organisasi keagamaan dalam pengelolaan wilayah tambang kembali mencuat setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang merevisi ketentuan sebelumnya mengenai pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Dalam regulasi ini, organisasi kemasyarakatan keagamaan diberikan peluang untuk mengelola eks-lahan tambang dengan dalih memberdayakan umat. 


Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia menjadi salah satu pihak yang disebut-sebut dapat terlibat. Namun, polemik pun muncul: apakah langkah ini sejalan dengan mandat moral dan sejarah perjuangan NU dalam membela kepentingan umat, atau justru menjadi jalan masuk bagi organisasi keagamaan ke dalam jeratan konflik ekologis dan ekonomi-politik?


Sebagai organisasi yang dibangun di atas semangat keagamaan dan keummatan, NU memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kemaslahatan tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi lingkungan. Prinsip laa dharara wa laa dhirara (tidak membahayakan dan tidak saling membahayakan) dalam ajaran Islam menjadi landasan kuat untuk mempertanyakan sejauh mana eksploitasi tambang dapat dibenarkan secara etis. 


Dalam kerangka etika ekoteologis, seperti dijelaskan oleh M. Amin Abdullah (2022), relasi antara manusia dan alam harus dipahami secara transdisipliner—tidak cukup hanya berdasarkan hukum formal, tetapi juga dengan pendekatan keilmuan, moral, dan spiritual yang mendalam. Tambang bukan sekadar persoalan teknis-ekonomi, tetapi juga menyangkut keberlangsungan hidup generasi mendatang dan nilai-nilai keadilan ekologis.


Keterlibatan ormas keagamaan dalam bisnis ekstraktif menyimpan potensi besar untuk terjadi konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, serta pergeseran arah perjuangan organisasi dari dakwah menuju kapitalisasi. Dalam konteks NU, hal ini menjadi semakin sensitif mengingat banyak warga NU yang tinggal di pedesaan—dekat dengan hutan, gunung, dan aliran sungai—yang selama ini menjadi korban utama dari praktik tambang yang tak ramah lingkungan. 


Laporan ICEL (2023) menegaskan bahwa kegiatan pertambangan yang minim akuntabilitas telah menyebabkan kerusakan ekosistem, pencemaran air, serta pemiskinan struktural masyarakat lokal. Bila NU ikut masuk ke dalam wilayah pertambangan tanpa kerangka etik dan kelembagaan yang kuat, maka risiko terhadap integritas moral organisasi tidak bisa dihindari.


Beberapa pihak memang berpendapat bahwa NU dapat memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan kemandirian ekonomi organisasi dan mendukung aktivitas sosial-keagamaannya, seperti pendidikan pesantren, layanan kesehatan, dan dakwah. Namun, pertanyaan fundamentalnya adalah: apakah NU bersedia mengorbankan nilai moral dan kepercayaan masyarakat demi keuntungan ekonomi yang belum tentu lestari? Penelitian Tania Murray Li (2014) menunjukkan bahwa penguasaan sumber daya alam oleh aktor non-negara, termasuk ormas, tidak menjamin terciptanya keadilan distribusi ataupun perlindungan lingkungan. Justru sebaliknya, hal ini kerap memperkuat oligarki baru yang tidak memiliki kontrol publik yang memadai.


NU seharusnya bersikap lebih kritis dan mawas diri dalam merespons tawaran ini. Alih-alih tergoda dengan potensi ekonomi tambang, NU dapat memilih jalan lain yang lebih berkelanjutan dan sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti mengembangkan ekonomi hijau, wakaf produktif, dan tata kelola zakat berbasis lingkungan. Jika tetap ingin mengambil peran dalam pengelolaan tambang, maka NU harus memastikan adanya sistem pengawasan internal, partisipasi masyarakat lokal, dan transparansi yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial maupun spiritual. NU tidak boleh menjadi bagian dari masalah yang selama ini dikritiknya sendiri: kerusakan alam, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan struktural.


Pada akhirnya, kehadiran NU dalam isu tambang adalah ujian besar: apakah NU akan tetap berdiri sebagai pembela umat dan penjaga moral publik, atau justru tergelincir menjadi pemain baru dalam perebutan sumber daya. Dalam konteks ini, pesan Gus Dur menjadi sangat relevan dan layak direnungkan kembali. Gus Dur pernah menegaskan bahwa “NU bukan untuk mencari kekuasaan, tetapi untuk mengawal moralitas bangsa.” Pesan ini bukan sekadar pernyataan retoris, melainkan fondasi filosofis yang menunjukkan arah perjuangan NU: bahwa yang diperjuangkan NU bukanlah akses atas kekayaan, tetapi keberpihakan terhadap yang lemah, yang terpinggirkan, dan yang terancam oleh kerakusan manusia terhadap bumi.


Mengelola tambang mungkin bisa mendatangkan dana, tetapi menjaga integritas jauh lebih bernilai dan langgeng. Di tengah krisis ekologi global, NU justru berpeluang menjadi suara moral yang konsisten memperjuangkan keberlanjutan lingkungan hidup. Bila NU setia pada warisan Gus Dur dan para muassis-nya, maka yang ditambang seharusnya bukanlah emas atau batu bara, melainkan nilai-nilai keadilan sosial, keberkahan alam, dan solidaritas antar generasi. Dengan demikian, NU akan tetap relevan dan dihormati bukan karena kekuatan ekonomi yang dimilikinya, tetapi karena keberanian moralnya untuk berdiri di sisi yang benar—sekalipun itu berarti menolak kesempatan yang menjanjikan keuntungan duniawi.


Referensi


PP No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.


Amin Abdullah. (2022). Agama dan Integrasi Ilmu di Era Disrupsi. UIN Sunan Kalijaga Press.


ICEL. (2023). Analisis Kritis Dampak Regulasi Lingkungan terhadap Ormas Keagamaan.


Li, Tania Murray. (2014). Land's End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier. Duke University Press.


Wahid, Abdurrahman. (2001). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. The Wahid Institute.


Penulis : Ren Warin (Lakpesdam PCNU Grobogan)

Editor : Ahmad Harir

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1