Jagat media sosial belakangan ini kembali diramaikan oleh tren baru yang bernama S Line. Tren ini terinspirasi dari sebuah drama Korea Selatan berjudul S Line, yang mulai tayang pada 11 Juli 2025.
Dalam cerita tersebut, dikisahkan seorang siswi SMA bernama Shin Hyun Heup memiliki kemampuan unik: ia bisa melihat garis merah di atas kepala manusia, sebagai penanda bahwa orang tersebut pernah melakukan hubungan intim.
Anehnya, fenomena fiktif ini justru ditiru oleh banyak pengguna media sosial, khususnya kalangan anak muda. Mereka dengan sengaja membuat video atau foto dengan garis merah editan di atas kepala, seolah ingin menunjukkan “pengalaman” tertentu yang dalam budaya kita seharusnya ditutupi, bukan diumbar.
Sebagian justru menganggap ini hanya candaan. Tapi, dari sudut pandang seorang aktivis Nahdlatul Ulama, tren ini menyimpan persoalan yang serius dan mencerminkan pergeseran nilai moral, pelemahan budaya malu, serta upaya normalisasi perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama dan tradisi ketimuran.
Budaya Aib yang Dirayakan
Dalam Islam, khususnya tradisi Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah, menjaga kehormatan diri adalah bagian dari iman. Islam mengajarkan umatnya untuk menutup aib, bukan mengumbarnya—apalagi menjadikannya bahan guyonan. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Sementara tren S Line justru menggiring anak muda untuk “bermain-main” dengan simbol-simbol aib. Meski konteksnya fiksi, maknanya tetap membawa pesan simbolik bahwa hubungan intim di luar nikah bisa menjadi bahan candaan publik.
Ini tentu berbahaya. Karena nilai-nilai dasar yang seharusnya dijaga, perlahan justru dianggap normal dan menjadi permainan.
Merendahkan Martabat Perempuan
Di satu sisi dampak dari tren ini adalah perempuan. Banyak pengguna yang menambahkan garis merah di kepalanya justru mendapat komentar negatif, sindiran, bahkan pelecehan. Bahkan netizen menyematkan label konotasi negatif yang merendahkan: “perempuan nakal”, “gampangan”, atau “sudah dipakai”.
Ironisnya, pelecehan itu sering muncul karena pemicunya disediakan secara sukarela oleh pengguna sendiri, yakni dengan mempublikasikan simbol-simbol yang mengarah pada hasrat seksualitas. Ruang digital justru menjadi tempat yang rentan untuk merendahkan martabat mereka sendiri.
Padahal, Islam sangat menjunjung tinggi kemuliaan perempuan. Dalam sebuah hadis yang populer, Rasulullah menyebutkan bahwa ibu—yakni perempuan—disebut tiga kali sebagai pihak yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik, sebelum kemudian disebutkan ayah. Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi mulia yang tidak boleh direndahkan.
Saatnya Melek Digital dan Moral
Kita tak bisa menutup mata bahwa era digital membawa tantangan tersendiri bagi generasi muda. Apa yang dahulu dianggap tabu, kini bisa viral hanya dalam hitungan menit. Maka bukan hanya kemampuan teknis bermedia sosial yang diperlukan, tetapi juga kecakapan moral dan spiritual dalam menggunakan ruang digital.
Aktivis Nahdlatul Ulama harus hadir di tengah-tengah fenomena seperti ini, termasuk aktif di ruang digital agar mampu menggaungkan narasi positif, edukatif, berlandaskan akhlak agar tidak kalah dengan tren-tren viral merusak moral generasi.
Menjadi Generasi yang Menjaga Kehormatan
Bagi para pelajar dan pemuda NU, mari kita renungkan kembali, untuk apa kita mengikuti tren yang justru menjatuhkan martabat kita sendiri? Apakah sekadar ingin terlihat lucu? Ingin viral? Atau ingin dianggap kekinian?
Padahal, yang sejati dan kekal bukanlah viralitas, tetapi harga diri. Yang keren bukan yang ikut tren aib, tetapi yang berani menjaga kehormatan diri di tengah arus budaya yang serba permisif. Islam mengajarkan bahwa kemuliaan bukanlah pada banyaknya sorotan publik, tetapi pada ketaatan dan kemantapan adab.
Simpulan
Tren S Line adalah contoh kecil dari bagaimana budaya digital bisa mengubah persepsi kita terhadap aib dan kehormatan. Jika tidak dibentengi dengan nilai-nilai Islam dan kebudayaan luhur, anak muda kita akan mudah terjebak dalam euforia lucu-lucuan yang sejatinya mencederai diri sendiri.
Sebagai aktivis NU, kami mengajak kita semua—baik para orang tua, guru, pendidik, maupun kader organisasi—untuk memperkuat literasi digital berbasis akhlak, serta membiasakan generasi muda untuk berpikir sebelum membagikan, menimbang sebelum mengikuti, dan menyadari bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang ramai itu baik.
Penulis : Muhammad Afif Fudin Zuhri
Editor: Rubadi