Di tengah dinamika politik lokal yang kerap penuh intrik, sosok H. Sugeng Prasetyo, S.E., M.M. hadir dengan keteduhan yang berbeda. Wakil Bupati Grobogan periode 2025–2030 ini bukan hanya seorang birokrat atau politisi, tapi juga seorang anak desa yang dibesarkan dalam tradisi khidmah dan ajaran ibunda yang sederhana, namun penuh makna.
Jejak Kehidupan Sejak Dini
Sugeng kecil telah mengenal kehilangan sejak usia 3 tahun. Sang ayah wafat saat dirinya masih sangat belia. Sejak itu, sang ibu menjadi sosok utama yang menanamkan nilai-nilai kehidupan dan keteguhan spiritual.
“Jangan pernah meninggalkan salat berjamaah,” adalah pesan yang terus diulang ibunya. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar biasa. Namun tidak bagi Sugeng. Pesan itu tumbuh bersamanya, berakar dalam hati, dan menjadi prinsip hidup yang ia bawa ke mana pun ia melangkah.
Solat Berjamaah, Adzan Subuh, dan Tradisi yang Tak Pernah Padam
Kebiasaan salat berjamaah bukan sekadar ritual, melainkan komitmen hidup. Bahkan saat mulai menjabat sebagai Wakil Bupati, pada minggu-minggu pertamanya, ia mengajak seluruh kepala dinas untuk salat berjamaah di Pendopo Kabupaten. Ini bukan sekadar ajakan spiritual, tapi ajakan untuk menata hati dan niat dalam melayani masyarakat.
Di setiap perjalanan dinas, baik dalam maupun luar kota, satu hal yang selalu ia tanyakan lebih dulu adalah: “Masjid jami’ terdekat di mana?” Ia ingin memastikan bahwa dirinya tetap terhubung dengan amalan yang diwariskan sang ibu.
Lebih dari itu, bahkan di rumahnya sendiri, hingga hari ini ia masih rutin mengumandangkan adzan subuh. Sesederhana itu, tetapi begitu kuat maknanya. Dalam gelapnya pagi, ia memanggil orang-orang untuk bangkit, bukan hanya dari tidur, tetapi juga dari kelalaian hidup.
Puasa Senin-Kamis dan Pesan Ibunda yang Terpatri
Selain menjaga salat berjamaah, Sugeng juga masih rutin menjalankan puasa Senin-Kamis. Ini pun berasal dari didikan ibunya. Sebuah pesan yang juga tak pernah ia lupakan:
“Ojo ninggalke sholat subuh berjamaah nek uripe pingin ayem lan tentrem.”
(Pesan ini dalam Bahasa Jawa berarti: Jangan tinggalkan salat subuh berjamaah kalau ingin hidup tenang dan tenteram.)
Kalimat sederhana ini telah menjadi refleksi kehidupan Sugeng Prasetyo. Ia percaya bahwa ketenangan hati dan keberkahan langkah bukan datang dari strategi politik, tetapi dari kedisiplinan ibadah dan keikhlasan dalam melayani.
Menjabat dengan Nurani
Kini, sebagai Wakil Bupati Grobogan, Sugeng Prasetyo bukan hanya membawa visi pembangunan fisik dan birokrasi. Ia membawa semangat membangun Grobogan dari dalam: dari niat, dari nilai, dan dari nurani.
Visi "Mbangun Deso, Noto Kutho" yang ia usung bersama Bupati Setyo Hadi, bukan hanya slogan kampanye, melainkan cita-cita untuk mengangkat martabat desa dan menata kota dengan hati.
Dalam rapat-rapat resmi, dalam kunjungan lapangan, hingga dalam pertemuan informal, Sugeng tetap menjadi pribadi yang konsisten: bersahaja, religius, dan penuh semangat khidmah. Tak heran jika banyak yang merasa dekat dengan beliau—karena beliau sendiri tak pernah menjauh dari akar nilai-nilai kehidupan rakyat.
Pemimpin yang Tak Lupa Adzan
Di era ketika banyak pemimpin sibuk membangun citra, Sugeng justru sibuk menjaga adzan subuh. Di tengah derasnya arus birokrasi, ia tetap memilih untuk menundukkan kepala dalam sujud.
Ini bukan hanya tentang religiusitas personal, tapi tentang kepemimpinan yang berangkat dari hati, dari kasih sayang ibu, dan dari semangat khidmah yang tulus untuk masyarakat.
Penulis : Bayu Ren
Editor : Rubadi