Tausiyah - Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi sosial yang menuntut adanya sikap saling membantu, peduli, dan berbuat baik. Dalam berbagai budaya dan ajaran moral, kebaikan selalu dipandang sebagai nilai luhur yang menjaga keharmonisan hidup bersama. Namun, dalam praktiknya, kebaikan sering kali berubah menjadi sesuatu yang bersyarat—dilakukan dengan harapan mendapatkan balasan, pengakuan, atau penghargaan dari sesama.
Pandangan semacam ini membuat kebaikan mudah
pudar ketika balasan yang diharapkan tidak datang. Islam hadir dengan
perspektif yang lebih mendalam, mengarahkan manusia agar menjadikan Allah
sebagai tujuan utama dalam setiap perbuatan. Surah Al-Baqarah ayat 195
menegaskan bahwa berbuat baik bukanlah transaksi sosial, melainkan bentuk ihsan
yang dicintai Allah dan juga bentuk usaha yang menjadikan kita selalu dekat
dengan rahmat-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Hidayatul Qur’an
karya KH Afifuddin Dimyathi, berikut adalah bunyi ayat dan penjelasannya:
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا
بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِۛ وَاَحْسِنُوْاۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِيْنَ (١٩٥) قوله تعالى:
Artinya: “Berinfaklah
di jalan Allah, janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan, dan
berbuatbaiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
والمعنى: وأنفقوا أيها المؤمنون في سبيل الله ونصر دينه
أموالكم، ولا تلقوا أنفسكم فيما فيه هلاككم في دين أو دنيا. بسبب ترككم الجهاد
وبخلكم عن الإنفاق فيه مع القدرة على ذلك، وأحسنوا كل أعمالكم وأتقنوها، لأنه
تعالى يحب المحسنين وَيَجْزيهم على إحسانهم بالرحمة والجنة والنظر إلى وجهه الكريم
، كما قال تعالى: ﴿إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ ﴾
[الأعراف: ٥٦], وقال تعالى: لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ [يونس:
٢٦]..
حثّ الله سبحانه وتعالى في هذه الآية على الإحسان وهوأعلى
مراتب عبادة، وهذا الحثّ لمصلحة المحسن، كما قال تعالى: (إِنْ أَحْسَنتُمْ
أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُم) [الإسراء: ٧], أي إن أحسنتم العمل بفعل الطاعة، فقد
أحسنتم إلى أنفسكم؛ لأنكم بالطاعة يفتح اللّه عليكم أبواب الخيرات والبركات، ويدفع
عنكم أذى المسيئين في الدنيا، ويجزيكم في الآخرة.
Maknanya: Infakkanlah
wahai orang-orang beriman harta kalian di jalan Allah dan untuk menolong
agama-Nya. Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam
kebinasaan, baik dalam urusan agama maupun dunia, akibat meninggalkan jihad dan
bersikap kikir dalam berinfak padahal kalian mampu melakukannya. Dan berbuat
baiklah dalam seluruh amal kalian serta sempurnakanlah pelaksanaannya, karena
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik dan akan membalas
kebaikan mereka dengan rahmat, surga, dan kesempatan untuk memandang wajah-Nya
yang mulia. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Sesungguhnya rahmat
Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A‘raf: 56)
Dan firman-Nya: “Bagi orang-orang yang berbuat baik disediakan kebaikan (surga) dan tambahan.” (QS. Yunus: 26)
Dalam ayat ini, Allah
Ta’ala menganjurkan kepada kita untuk berbuat ihsan, dikarenakan ihsan
merupakan tingkatan tertinggi dalam ibadah. Dorongan ini sesungguhnya demi
kemaslahatan orang yang berbuat ihsan itu sendiri, sebagaimana firman Allah
Ta‘ala:
“Jika kamu berbuat
baik, maka sesungguhnya kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri.”
Artinya, jika kalian memperbaiki amal dengan melaksanakan ketaatan, maka sesungguhnya kalian telah berbuat baik kepada diri kalian sendiri. Dengan ketaatan tersebut, Allah akan membukakan bagi kalian pintu-pintu kebaikan dan keberkahan, menolak gangguan orang-orang yang berbuat buruk di dunia, serta memberikan balasan di akhirat kelak.
Ayat di atas memerintahkan
kepada kaum mukmin agar menginfakkan hartanya di jalan Allah, yaitu untuk
menegakkan dan menolong agama-Nya. Infak bukan sekadar anjuran, melainkan
bagian penting dari menjaga kekuatan umat dan keberlangsungan kebaikan di dunia
dan akhirat. Dan juga larangan “janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan” tidak hanya bermakna melakukan tindakan berbahaya secara
fisik, tetapi juga mencakup kebinasaan dalam agama dan kehidupan. Diantaranya
adalah meninggalkan kewajiban berjihad (dalam makna luas) dan bersikap kikir
dalam berinfak padahal mampu. Sikap tersebut dapat melemahkan iman, merusak
tatanan sosial, dan mendatangkan kerugian dunia maupun akhirat.
Dalam kesimpulan
terakhirnya, dengan ciri khas gaya beliau dalam menafsirkan suatu ayat, yaitu
mengaitkan ayat satu dengan ayat yang lainnya yang masih memiliki keterkaitan.
Beliau mengaitkan ayat ini dengan surah Al-Qashash ayat 77:
(وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ)
Artinya: “Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu.”
Bahwasannya ayat ini mengingatkan
kepada kita bahwa standar kebaikan itu bukan manusia, bukan karena orang lain
berbuat baik kepada kita baru kita mau berbuat baik kepadanya. Akan tetapi,
kita berbuat baik karena Allah sudah terlebih dulu berbuat baik kepada kita
dengan memberikan segala rahmat-Nya. Berbuat baik karena mengharap pujian manusia sering kali melahirkan
kekecewaan. Namun, berbuat baik karena Allah akan menumbuhkan ketenangan batin,
sebab orientasinya bukan pada respons manusia, melainkan pada ridha-Nya. Inilah
hakikat ihsan: melakukan kebaikan secara maksimal meski tidak dilihat, tidak
dihargai, bahkan mungkin dilupakan.
Jadi mulai sekarang,
mari kita ubah niat dalam berbuat baik bukan untuk mendapatkan balasan dari
manusia, tapi sebagai cerminan dari
kasih sayang Allah yang tidak pernah berhenti kepada hamba-hamba-Nya.
Dengan demikian, QS. Al-Baqarah: 195
mengajarkan bahwa kebaikan sejati lahir dari kesadaran akan kasih sayang Allah.
Kita berbuat baik bukan untuk mendapatkan sesuatu dari manusia, tetapi sebagai
wujud syukur dan cerminan dari rahmat Allah yang tidak pernah berhenti kepada
kita. Wallahu A’lam
*Ditulis oleh Ahmad Shofa Bahrul Musili (Mahasantri Ma’had Aly Darul Ulum Jombang)



